Rabu, 01 Oktober 2014

Kebijakan ( Daendels, Raffles, van den Bosch, van Deventer, Douwes Dekker)

CONTOH DOKUMEN WORD YANG SAYA BUAT
SILAHKAN DOWNLOAD GRATIS DISINI

download , download

SCRENSHOOT ISI DOKUMEN word 2010

TAG :
Kebijakan-Kebijakan Herman Willem Daendels 1. merombak sistem pemerintahan feodal dan menggantinya dengan sistem pemerintahan mdern. rakyat dalam pemerintahan ini memegang kedaulatan tertinggi (pemerintahan liberal), dan bupati menjadi pegawai yang gajinya ditentukan. 2. raja-raja jawa(surakarta/solo dan yogyakarta) dinyatakan sebagai bawahan. 3. membentuk pengadilan keliling dan peradilan pribumi. 4. membrantas korupsi dan penyelewengan dalam pemungutan dan penyerahan wajib pajak. 5. menjadikan para bangsawan atau penguasa lokal sebagai aparat atau pegawai pemerintah. Kebijakan-Kebijakan Thomas Stamford Bingley Raffles Bidang Birokrasi dan Pemerintahan • Langkah-langkah Raffles pada bidang pemerintahan adalah: • Membagi Pulau Jawa menjadi 18 keresidenan (sistem keresidenan ini berlangsung sampai tahun 1964) • Mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat • Bupati-bupati atau penguasa-penguasa pribumi dilepaskan kedudukannya yang mereka peroleh secara turun-temurun • Sistem juri ditetapkan dalam pengadilan • Bidang Ekonomi dan Keuangan • Petani diberikan kebebasan untuk menanam tanaman ekspor, sedang pemerintah hanya berkewajiban membuat pasar untuk merangsang petani menanam tanaman ekspor yang paling menguntungkan. Penghapusan pajak hasil bumi (contingenten) dan sistem penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang sudah diterapkan sejak zaman VOC. Menetapkan sistem sewa tanah (landrent) yang berdasarkan anggapan pemerintah kolonial. Pemungutan pajak secara perorangan. Bidang Hukum • Sistem peradilan yang diterapkan Raffles lebih baik daripada yang dilaksanakan oleh Daendels. Karena Daendels berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi pada besar kecilnya kesalahan. Badan-badan penegak hukum pada masa Raffles sebagai berikut: • Court of Justice, terdapat pada setiap residen • Court of Request, terdapat pada setiap divisi • Police of Magistrate Bidang Sosial • Penghapusan kerja rodi (kerja paksa) dan penghapusan perbudakan, tetapi dalam praktiknya ia melanggar undang-undangnya sendiri dengan melakukan kegiatan sejenis perbudakan. Peniadaan pynbank (disakiti), yaitu hukuman yang sangat kejam dengan melawan harimau. • Bidang Ilmu Pengetahuan • Ditulisnya buku berjudul History of Java di London pada tahun 1817 dan dibagi dua jilid • Ditulisnya buku berjudul History of the East Indian Archipelago di Eidenburg pada tahun 1820 dan dibagi tiga jilid • Raffles juga aktif mendukung Bataviaach Genootschap, sebuah perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan • Ditemukannya bunga Rafflesia Arnoldi • Dirintisnya Kebun Raya Bogor • Memindahkan Prasasti Airlangga ke Calcutta, India sehingga diberi nama Prasasti Calcutta • Dari kebijakan ini, salah satu pembaruan kecil yang diperkenalkannya di wilayah kolonial Belanda adalah mengubah sistem mengemudi dari sebelah kanan ke sebelah kiri, yang berlaku hingga saat ini. Kebijakan-Kebijakan Johannes graaf van den Bosch Sistem Tanam Paksa (STP) Ketentuan Sistem Tanam Paksa terdapat dalam Lembaran Negara Tahun 1843 No. 22 antara lain isinya sebagia berikut : 1) Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib harus atas persetujuan penduduk 2) Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tanaman wajib tidak boleh melebihi seperlima bagian 3) Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman wajib tidak boleh melebihi waktu menanam padi 4) Tanah yang digunakan menanam tanaman wajib tidak melebihi luas lahan menanam padi 5) Tanaman wajib yang dihasilkan harus diberikan kepada pemerintah. Jika hasil yang diperoleh lebih dari yang ditaksir, lebihnya diserahkan kepada penduduk 6) Gagal panen ditanggung pemerintah asal penyebabnya bukan karena kurang rajinnya penduduk 7) Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala desa, sedangakan pegawai Eropa melakukan pengawasan terbatas agar penanaman dan panen berjalan baik dantepat pada waktunya. Kebijakan-Kebijakan Conrad Theodore van Deventer kebijakan van deventer di indonesia, dikenal dengan nama politik etis. Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi: 1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian 2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi 3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan akan tetapi, kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Kebijakan-Kebijakan Eduard Douwes Dekker Sebagai wartawan dan memiliki koran, dia cukup leluasa mengritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang tidak berperikemanusiaan. Seiring dengan itu, dia juga aktif dalam bidang politik antara lain dengan mendirikan Indische Partij (IP) pada 1912 di Bandung bersama Dr Cipto Mangunkusumo dan Dr Suwardi Suryaningrat (ketiganya kemudian dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Tiga Serangkai). IP saat itu menjadi partai politik pertama di Hindia Belanda yang terang-terangan menuntut kemerdekaan Hindia Belanda selain juga aktif membela kesetaraan bagi bumi putera dan kaum indo yang terdiskriminasi oleh sistem yang diterapkan pemerintahan kolonial. Namun kiprahnya yang revolusioner bersama Cipto dan Suwardi ini harus dibayar dengan berkali-kali menerima hukuman pengasingan, dijauhkan dari interaksinya dengan rakyat yang dibelanya ini. Pada 1913, ketika pemerintah Hindia Belanda berrencana turut memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, Cipto dan Soewardi mencemooh rencana tersebut lewat artikel yang dimuat di surat kabar De Express. Inti artikel mereka adalah, betapa ironisnya jika Hindia Belanda yang dijajah Belanda harus ikut merayakan kemerdekaan negeri penjajahnya tersebut dari penjajahan oleh Prancis. Cipto dan Suwardi pun ditangkap. Melihat itu, DD tak tinggal diam. Di surat kabar yang sama dia menuliskan bahwa kedua rekannya itu adalah para pahlawan. Maka DD pun ditangkap. Ketiganya sempat diasingkan ke negeri Belanda sebelum kemudian dipisah-pisah antara lain ke pulau Banda dan Kupang. Setelah masa pengasingannya berakhir, pada 1922 Douwes Dekker pulang ke Bandung. Dia lalu melamar pekerjaan sebagai pengajar di satu sekolah rendah partikelir yang beraliran komunis. Meski ada ganjalan ihwal komunisnya itu, namun Belanda merasa mungkin pekerjaan sebagai pengajar di sekolah tersebut akan meredam jiwa gelisah seorang DD. Tapi dasar pembangkang, ada saja jalan untuk menjadi “pemberontak”. Kenaikan karir di sekolah tersebut membuatnya bisa leluasa mengatur manajemen sekolah tersebut. Sekolah yang semula bernama Preanger Instituut van de Vereeniging Volksonderwijs (Institut Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat) ini, kemudian digantinya menjadi Ksatrian Instituut—kampus perjuangan yang memberi peluang pendidikan setara bagi kaum pribumi, keturunan Tionghoa, dan indo, yang mendapatkan diskriminasi pendidikan dari pemerintah kolonial. Akibat sepak terjangnya yang selalu bikin pemerintahan kolonial bercucuran keringat dingin ini, DD kembali ditangkap dan kali ini diasingkan ke Suriname. Jiwa gelisahnya ini, selain telah membuatnya pernah diasingkan ke Suriname dan Belanda, juga pernah ke Yogyakarta dan Prapat. Bagi pemerintah kolonial sendiri, upaya pengasingan itu tentu bukan soal terpencilnya lokasi melainkan adalah untuk menjauhkan DD dari rakyat yang sedang dibelanya. Tiga tahun setelah Indonesia merdeka, DD kembali ke Bandung dari pengasingannya di Belanda, hingga kemudian meninggal dengan tenang di negeri yang dicintainya ini pada 1950 di usia 70 tahun.